Penerapan Sanksi Prokes, Seharusnya Tidak Hanya Cenderung Ke Masker Saja

Redaksi
Redaksi

TARAKAN – Wacana penerapan sanksi bagi pelanggar Protokol Kesehatan (Prokes) hingga saat ini masih dalam proses pengodokan. Meski demikian, wacana peringatan sejauh ini masjh tefokus penindakan penggunaan masker saja. Padahal, penerapan prokes mencakup beberapa poin seperti menjaga jarak, mencuci tangan dan menghindari keramaian.

Saat dikonfirmasi, Praktisi sekaligus Akdemisi Universitas Borneo Tarakan (UBT) Alif Arhanda Putra S.H, M.H menuturkan jika seharusnya penerapan sanksi nantinya tidak terfokus pada penggunaan masker saja, namun juga dapat terfokus pada seluruh item dalam prokes. Sehingga menurunya pelaksanaan pengawasan tidak hanya persoalan kedisiplinan saja, namun dapat mencapai efektifitas.

“Kalau Pandangan saya, dengan adanya pembuatan perwali sanksi Prokes ini, bisa dikatakan cukup baik sebagai wujud dan upaya pemerintah terhadap pencegahan wabah covid-19 . Tapi bisa kita garis bawahi sanksi atau denda ini bisa berdampak kepada kasus atau tidak. Mungkin sebaiknya ini dikaji secara matang,”ujarnya, (17/7).

- Advertisement -
Ad imageAd image

“Kalau kita lihat sepetinya aturan ini lebih condong ke masker saja. Mungkin dalam hal dalam perwali dapat menegaskan jika kewajiban penerapan harus kepada semua item. Misalnya cuci tangan, menjaga jarak dan lain-lain. Jadi sanksi juga bisa diberikan kepada rumah makan, kafe atau hotel yang tidak menyediahkan fasilitas cuci tangan atau masker kepada pengunjung,”sambungnya.

Menurutnya, jangan sampai penerapan tersebut tidak memiliki dampak bagi penularan covid itu sendiri. Lebih lanjut, dikatakannya aturan tentu tidak dapat memberi efek maksimal jika tidak dibangun atas kesadaran masyarakat.

“Artinya penerapannya secara totalitas. Karena percuma kalau yang diawasi maskernya saja tapi tidak pada poin prokes yang lain. Bahkan mungkin bersentuhan tabungan juga bisa diberi sanksi. Kalau berpatokan pada prokes,”jelasnya.

“Lagipula dengan menerapkan sanksi denda, apakah membuat masyarakat patuh karena takut didenda atau takut tertular covid-19. Karena kalau kita takut kepada virusnya tentu kita menerapkan prokes atas kesadaran diri sendiri. Tapi kalau kita lebih takut kepada sanksinya, justru bisa saja kita tidak menerapkan prokes di tempat tertentu,”tukasnya.

Selain itu, menurutnya diperlukan penegasan poin dalam perwali tersebut. Meski setiap aturan umumnya mengacu pada seluruh lapisan masyarakat, namun diperjalannya, penegak kerap terjebak kepada dilema hubungan sosial yang berpotensi pada penerapan sanksi. Sehingga menurutnya diperlukan penegasan pada sasaran aturan yang dapat menjadi landasan penegak hukum dalam melaksanakan tugas.

“Apakah nanti jika diterapkannya perwali tersebut pelaksanaannya bisa diterapkan di seluruh lapisan masyarakat, atau hanya pada lapisan tertentu. Bagaimana nanti dalam perjalanan jika ada oknum pemerintah atau aparat yang melanggar dapat diberikan sanksi yang sama. Tentu ini sangat dilema dalam hubungan sosial, sehingga penegasan sangat diperlukan dalam poin aturan yang disusun,”tuturnya.

Selain itu, menurutnya diperlukan kejelasan dalam pengelolaan hasil sanksi. Sehingga aturan tersebut tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Hal itu juga, menurutnya dapat mencegah adanya penyalagunaan wewenang oleh oknum untuk meraup keuntungan pribadi.

“Selain itu terkait sanksi, mau dimasukan ke mana pembayaran sanksinya. Katakanlah masuk ke kas daerah, artinya hal itu juga harus berdampak kepada pemberian fasilitas nantinya. Dan juga bagaimana bisa membuat pembayaran masyarakat tidak disalahgunakan oknum, yaitu pemerintah bisa mengatur dengan memberikan kwitansi bagi masyarakat yang melanggar. Hal itu untuk mencegah penyalagunaan pembayaran sanksi oleh oknum petugas,”pungkasnya.

Share This Article
26 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *