TARAKAN – Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang memicu inflasi akan menjadi salah satu faktor kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2023. Namun keputusan akhir tetap harus disepakati oleh Dewan Pengupahan Kota (Depeko) yang terdiri dari tripartit (pemerintah, serikat buruh, dan pengusaha).
“Untuk UMK nanti dibahas di tripartit. Biasanya dilakukan pada bulan November. Kebetulan untuk SK (surat keputusan) masih kita siapkan. Nanti akan kita bicarakan besaran UMK 2023,” ungkap Kepala Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Tarakan, Agus Sutanto, baru-baru ini.
Dalam pembahasan nanti, berbagai usulan bisa dimusyawarahkan. Seperti faktor apa saja yang menjadi penentu besaran UMK, termasuk persentase besaran kenaikan. Sedangkan untuk aturan pembahasan UMK masih sama dengan tahun sebelumnya.
“Kalau melihat kondisi sekarang ini memang bisa naik. Karena ada kebijakan pemerintah yang telah menaikkan harga BBM. Karena dalam menentukan besaran UMK, ada beberapa komponen. Seperti biaya hidup, inflasi, dan lain sebagainya,”jelasnya.
Sementara itu, Ketua DPC FSP Kahutindo Tarakan, Rudi mengatakan, kenaikan harga BBM sangat memberatkan kaum buruh.
Pihaknya meminta UMK 2023 minimal naik 15 persen dari tahun 2022 sebesar Rp3.774.378.
“Kami sedang mempersiapkan kenaikan upah, bahwa serikat pekerja dalam waktu dekat ini akan mempersiapkan pembahasan upah untuk 2023. Dimana di tahun 2021 kenaikan cuma Rp5 ribu. Di tahun 2022 kenaikan Rp12 ribu. Sekarang ada kenaikan harga BBM yang sangat menyudutkan kaum buruh,” terangnya.
Disinggung masalah perhitungan besaran UMK, Rudi mengaku bahwa pihaknya masih melakukan pembahasan secara internal.
“Kenaikan harga BBM dampaknya sangat banyak. Salah stau contoh adalah transportasi, harga sembako dan lain sebagainya,” tutupnya.