Oleh : Agus Dian Zakaria (Pegiat Literasi dan Jurnalis)
Akhir-akhir ini, sepertinya demokrasi kita sudah tak seperti dulu lagi, mungkin karena kita terlalu percaya bahwa demokrasi sangat ramah bagi kritikan dan pandangan siapa saja. Atau terlalu yakin Demokrasi masih menjadi rumah ternyaman bagi ruang-ruang pemikir jalanan. namun belakangan sepertinya hal itu tidak menunjukan demikian.
Beberapa bulan lalu, sebuah pidato presiden Joko Widodo dalam Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 8 Februari 2021 sempat mengegerkan banyak pihak. Pasalnya, ia meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah. Sekilas pesan itu nampak biasa, namun setelah ditelaah lebih jauh pesan itu cukup bertolak belakang pada sikap birokrasi dalam beberapa tahun terakhir.
Memang, pesan itu terkonteks pada perhatian administrasi layanan publik, namun secara garis besar himbauan untuk pro-aktif melakukan kritik tersebut dinilai diyakini sebagai lampu hijau dalam mempersilahkan kebebasan masyarakat menilai kinerja pemerintah dalam segala hal.
Menurut presiden ke-7 di negeri tercinta kita ini, Indonesia telah mencapai banyak hal dalam urusan perbaikan pelayanan publik. Namun, dia menilai masih banyak aspek yang perlu perbaikan. Himbauan itu tentu sudah cukup mengambarkan bahwa negeri kita cukup demokratis dalam menerima kritik dari berbagai pihak. Meski jauh di singgasana masih banyak pihak yang meragukan himbauan itu. Tapi di sini saya tidak ingin memperdalam analisis terhadap pesan tersebut. Namun pada momen ini, saya ingin mengemukakan pandangan saya terhadap yang terjadi pada perjalanan demokrasi kita dalam beberapa tahun terakhir.
Dari kacamata KBBI, “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum”.
Dalam definisi lain “Demokrasi merupakan sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara. Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat”.
Lahirnya reformasi pasca era Orde Baru (Orba), membuat Indonesia sedikit bernapas legah. Reformasi yang dianggap menjunjung Hak-hak manusia seolah dianggap menjadi Ratu adil bagi masyarakat. Demokrasi hadir bagaikan hadiah bagi masyarakat Indonesia pasca sekian lama menjalani kehidupan di bawah bayang-bayang otoriter.
Sebagai warga negara yang budiman nan tampan, tentu Demokrasi kala itu menjadi barang mewah bagi setiap warga negara. Demokrasi hadir setelah masyarakat sekian lama harus berdarah-darah menahan amarah yang tak dapat tercitra. Sejatinya, merindukan Demokrasi yang ramah adalah naluri kita.
Namun belakangan, sepertinya bayang-bayang teror otoriter berbau fasis mulai kembali menghantui kita. Aktivis jalan, mahasiswa, jurnalis, pegiat literasi, musisi, influencer, jelata, seluruh masyarakat Indonesia kini berada pada ancaman fasis yang dapat membuat siapa saja menjadi penghuni bui dari buah pikir yang berbeda.
Media sosial yang kini menjadi sarana kritik dan ruang ekspresi masyarakat seakan menjadi wadah angker dalam menyatakan pendapat. Tentu ingatan kita masih segar terhadap kasus penangkapan salah satu musisi Superman Is Dead Jerinx, yang ditangkap karena tidak mempercayai covid-19 dan menyiarkan pikirannya ke lini masa. Atau Musisi, Ananda Badudu yang ditahan karena menggalang dana untuk mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Cerita lain ada mantan anggota TNI Ruslan Buton yang diadili usai menyebarkan pernyataan terbuka di media sosial meminta Presiden Jokowi mundur. Ia didakwa telah sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian, menghina penguasa, atau menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran.
Orang-orang tersebut adalah sebagian kecil dari banyaknya orang yang bernasib sama karena menyatakan buah pikirannya. Meski memang kritik dan ujaran kebencian memiliki perbedaan, namun sebagian pengkritik mungkin sama sekali tidak bermaksud seperti demikian. Melainkan sebagai ekspresi dari gejolak keresahan yang timbul atas kebijakan yang dianggap semena-mena.
Sepertinya, saat ini demokrasi mulai terkikis oleh bibit fasis sebab hierarki yang mulai narsis.
Tidak sedikit orang yang menyampaikan kritik kemudian harus berhadapan dengan hukum atas jeratan UU ITE. Situasi yang sedemikian rupa membuat masyarakat menjadi takut dalam menyatakan pendapatnya.
Penangkapan para tokoh akibat kritikan tentu menjadi tamparan keras bagi keimanan Demokrasi kita dalam bersuara. Meski penangkapan telah dibungkus dengan dalih ujaran kebencian, informasi palsu, fitnah dan berbagai tuduhan lainnya. Terlepas daripada anggapan itu, sekali lagi hierarki baru saja kembali menggunakan tangan besinya dalam membatasi kemerdekaan berpendapat sebagai upaya kontrol sosial.
Lantas, apakah kita layak menyebut hal ini fasisme gaya baru, menukil pendapat salah satu Pengajar Studi Perdamaian dan Studi Nirkekerasan di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Diah Kusumaningrum, dalam essai berjudul (Fasisme Gaya Lama dan Gaya Baru), “bagi mereka demokrasi adalah kendaraan belaka, bukan prinsip yang harus dijunjung tinggi. Mereka tidak ragu menggunakan kendaraan demokrasi sembari berperilaku otoriter—yang pada akhirnya menghalalkan cara-cara nondemokratis seperti membatasi akses komunikasi lawan, menggelar hate speech dan hate spin, mengupayakan perubahan undang-undang yang melemahkan demokrasi, dan lain-lain”.
Mungkinkah UU ITE termasuk salah satu cara mengikis demokrasi? Maybe.
Kalau sudah begini, apakah kita masih bisa menyatakan kita sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, jika terus begini jangan salahkan masyarakat yang menganggap demokrasi sebagai ekspektasi dan buaian hierarki.
Sejatinya, anda, saya, dia dan mereka menyadari penuh, bibit fasis merupakan ancaman terbesar bagi gaya (ber)demokrasi kita. Cepat atau lambat, UU ITE dapat menjadi bomerang bagi demokrasi ibu pertiwi. Ia bisa mematikan kekritisan masyarakat akibat rasa takut, dan dapat menjadi alat bagi kepentingan penguasa sebagai dalih penjaga marwah.
Bagaimana pun, anda, saya, dia dan mereka adalah warga negara yang mencintai negara dan segala sistem serta kultur sosialnya. Bukankah menghargai hak-hak berpendapat merupakan upaya menjaga kultur demokrasi kita.
Saya teringat kata-kata John. F Kennedy yang kini sering diucapkan pemuda pancasilais yang berambut klimis. “Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan untukmu, tetapi tanyakanlah sumbangsih apa yang telah kamu berikan pada negara.”
Jauh di lubuk hati terdalam, sejatinya masyarakat sejak terlahir telah memberikan cinta, waktu, kontribusi, pikiran dan partisipasi dalam setiap program yang dilaksanakan negara. Bukan kah itu tidak layak dikatakan sumbangsih??.
Sejatinya kritik merupakan upaya dari sumbangsih masyarakat dalam menjaga kontrol sosial, kultur dan sistem bernegara. Jangan sampai phobia kritikan yang disebabkan ego membuat kita jatuh jauh lebih dalam dari tujuan kita sebenarnya. Semoga kebebasan berpikir akan terus hidup dan terawat mewarnai peradaban kita.
Jika hari ini negara begitu alergi mendengar suara sumbang, apakah Demokrasi telah berpulang. Apakah saat ini, demokrasi hanya produk yang laris dalam momen lima tahunan saja. Demokrasi memang berat bagi mereka yang berjiwa dinasti, tapi Demokrasi cukup indah bagi mahkluk lemah nan jelata seperti kami.
TARAKAN 15-09-2021.