TARAKAN – Adanya Pemberhentian Hal Kerja (PHK) pada 26 karyawan di salah satu perusahaan yang bergerak pada industri baru bara, membuat 26 karyawan harus kehilangan mata pencarian. Sehingga tak Terima atas perlakuan sepihak perusahaan beberapa karyawan yang mewakili ke 26 eks karyawan PT Mandiri Herindo Adiperkasa (MAHA) melaporkan Perusahaan dan beberapa oknum tersebut.
Diketahui PT Mandiri Herindo Adiperkasa tbk merupakan perusahaan yang bergerak PT. MHA menjalankan usaha jasa angkutan batubara di Kabupaten Tana Tidung (KTT).Saat dikonfirmasi, Penasehat Hukum eks Karyawan PT MAHA Jeferson menerangkan, pihaknya datang ke Polres Tarakan melaporkan perusahaan yang berinisial MAHA atas dugaan pemecatan secara sepihak. Menurutnya, sejauh ini MAHA berlaku sewenang-wenang tanpa melihat regulasi yang berlaku. Sehingga kata Jeferson membuat perusahaan tersebut melakukan proses pemberhentian melanggar hukum.
“Hari ini kami melaporkan perusahaan PT Mandiri Herindo Adiperkasa yang beroperasional di KTT dan kantor administrasinya di Pasir putih. Kami datang ke Polres adanya perlakuan yang tidak adil dari PT MAHA yang melakukan PHK kepada klien saya secara sepihak. Karena UU acuan no 13 tahun 2003 Bab 12 pasal 151 dan 152, di situ mengatakan bahwa perusahaan atau pengusaha, memecat atau mem-PHK seseorang, harus diawali dengan mengajukan permohonan di LPPHI,”ujarnya, (14/9/2023).
“Ternyata, mereka tidak melalui proses ini. Artinya, tidak prosedural. Untuk itu, kami menganggap bahwa mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kenapa, awal klienya mereka ini dijebal dulu, dengan sebuah kebijakan internal perusahaan yang disebut jadwal miring. Dari kebijakan itu, dianggap merugikan seluruh karyawan. Akhirnya pada waktu itu terjadi mogok kerja yang dilakukan 300 karyawan. Namun yang di PHK ada 26 orang dan diantara 26 itu beberapa orang ada yang tidak ikut demo bahkan ada yang posisinya cuti,”sambungnya.
Selain itu, dikatakannya pada surat pemberhentian MHA juga dinilai cacat lantaran tidak memiliki KOP surat perusahaan dan memiliki nomor surat yang dinggap tidak sesuai dengan format surat resmi. Sehingga Jeferson menduga surat tersebut merupakan akal-akalan perusahaan MHA mengelabui karyawan.
“Pertama kami melihat di surat PHK itu tertuang Peraturan pemerintah (PP) pengganti undang-undang yang mereka cantumkan bernomor 02 tahun 2022. Tetapi menurut hemat kami dan apa yang kami ketahui bahwa DPR-RI, bersama pemerintah dalam hal membentuk atau memproduksi sebuah undang-undang entah itu Pergub, Perpu atau apakah itu. Tidak pernah diawali dengan nomor nol. Itu diawali dengan angka 1 sampai 9. Artinya mereka ini tidak paham dengan undang-undang. Namun membodohi, menakut-nakuti karyawan dengan undang-undang,”tuturnya.
“Kami melihat 2 pelanggaran fatal dalam PHK ini di luar banyaknya pelanggaran administrasif lainnya. Pertama, seperti saya jelaskan sebelumnya pada pasal 151 dan 152, Bab 12 yang ke 3. Ketika proses penerimaan gak atau realisasi pesangon, ini tidak sesuai dengan aturan yang ada. Mereka diiming-imingi pembayaran 1 kali dan ada 2 kali. Saya tidak tahu aturan ini mengambil dari mana. Sementara UU berbicara lain, menyoal hak-hak mereka diatur di dalam UU 13 tahun 2003 pasal 156. Itu sudah jelas sekian persen berapa bulan, berapa tahun anda kerja,”jelasnya.
“Jadi ironisnya, ketika ada yang menerima sampai hanya sebatas Rp 30 juta rupiah dalam masa kerja 4 tahun, ini ironis. Perhitungan normalnya berdasarkan berbagai tunjangan total angka seminim-minimnya Rp 78 juta rupiah. Tapi akhirnya itu yang terjadi akibat diskriminasi perusahaan,”lanjutnya.
Sementara itu, Eks Karyawan korban PHM frans menerangkan, pihaknya tidak mempersoalkan jika dikeluarkan atas dasar dan prosedur yang jelas. Hanya saja keputusan ini dinilai tidak mengikuti regulasi yang ada dan ia menduga pemberhentian terssebut memiliki kaitan dengan sentimentil pribadi.
“Kami menuntut agar PJO perusahaan MHA dipidana atas penyalahgunaan jabatan. Selain itu kami meminta denda karena kami merasa dirugikan secara materil dan imateril. Siapa pun yang dikeluarkan oleh perusahaan pasti dinilai negatif dan menimbulkan stigma orang tidak baik. Kami saat ini harus jadi gelandangan kami tidak punya mata pencarian lagi,”tukasnya.
“Untuk roaster/jadwal miring yang dimaksud itu ada jadwal sebelumnya yang kami mendapatkan tanggal merah bisa lebih dari 4 kali. Sedangkan yang sudah diperbarui kalau tanggal merah di off, off tidak bisa diganti hari lain. Sehingga tanggal merah itu hitungannya juga off. Akhinya ini mempengaruhi pendapatan lembur yang harusnya bisa lembur jadi tidak bisa,”terangnya.
Sementara itu, Penanggung Jawab Operasional (OJO) PT MAHA Pripto menerangkan, jika pihaknya melakukan PHK atas kebijakan perusahaan yang didasari kondisi perusahaan. Lanjut dia, PHK tersebut pun dilakukan secara prosedur dan pihaknya merasa tidak melanggar aturan apapun. Sehingga ia menegaskan PHK ini tidak memiliki hubungan dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan pekerja sebelum adanya kebijakan PHK.
“Kemarin kami sudah melakukan klarifikasi di Polres Tarakan bahwa apa yang kami lakukan sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Kurang lebih sekitar 22 orang menandatangani persetujuan Pertama dan uangnya juga sudah diberikan. Pengurangan itu kami lakukan karena kebijakan efisiensi. Dan tanpa ada paksaan,”terangnya.
“Kenapa kami mengatakan tidak ada paksaan, contonya ada 4 orang yang tidak menerima itu kami tetap menghormati itu, monggo, mereka melapor ke Polres Tarakan kita mengikuti juga pemanggilannya, ini tidak ada hubungannya dengan aksi demo yang mereka lakukan sebelumnya,”sambungnya.
Dikatakannya, sejauh ini pihaknya pun masih memberikan hak gaji pada beberapa karyawan yang belum menerima keputusan PHK. Sehingga kata dia, jika perusahaan berlaku semena-mena maka hal tersebut tidak akan terjadi. Namun demikian, pihaknya menghargai klaim dan segala upaya hukum karyawan sebagai etikad baik.
“Karena perusahaan kami kan juga tidak mencapai target dalam capaian kami sehingga harus dilakukan efisiensi. Soal pesangon, kami sudah menjalankan sesuai aturan kami berikan pesangon mereka berdasarkan masa kerjanya. Perlu diketahui juga rekan-rekan yang belum menerima pesangon itu mereka masih menerima gaji pokok. Karena kami menghargai status mereka yang belum menerima PHK, kami masih menganggap mereka sebagai karyawan dan berhak menerima gaji,”
“Kami melakukan pengurangan berdasarkan beberapa faktor yang berhubungan dengan penilaian kinerja. Kami menghargai segala proses dan upaya hukum bersangkutan dan yang kami lakukan sudah sesuai prosedur sesuai aturan yang berlaku,”Pungkasnya.