Padamnya “Pelita”: Ketika “Api” Kebodohan Lebih Didengar daripada Suara Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Redaksi

Oleh : Bahar Mahmud, S.Pd. Gr

Saya ingin memulai tulisan ini dengan mengutip UUD 1945 Amandemen ke-4:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Dari amanat konstitusi ini, kita memahami bahwa negara memiliki tekad besar untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas bukan hanya kualitas raganya, tetapi juga kualitas jiwanya melalui pendidikan. Negara bahkan menyiapkan anggaran 20% dari APBN demi memastikan tujuan mulia ini tercapai.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Namun di negeri yang memiliki cita-cita luhur membangun peradaban melalui pendidikan ini, kita justru menyaksikan ironi yang menyakitkan. Pelita-pelita bangsa yang bergelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa perlahan dipadamkan oleh kebodohan yang sering berlindung di balik regulasi.

Hari Guru Nasional tahun ini seharusnya menjadi momentum penghormatan. Tetapi apa artinya penghormatan jika pada saat yang sama, tangan-tangan para guru justru dibelenggu ketakutan?

Kita hidup di era ketika guru bisa dipenjara hanya karena menjalankan disiplin pendidikan, sementara perilaku yang merusak karakter bangsa sering dibiarkan tumbuh tanpa arah. Guru yang dahulu dihormati sebagai pelita penerang jalan gelap, kini diperlakukan seolah mereka ancaman.

Di banyak tempat, guru tak lagi bebas mendidik.
Setiap teguran dianggap kekerasan.
Setiap pendisiplinan dianggap kriminal.
Setiap upaya membentuk karakter dianggap melampaui batas.

Lalu kita bertanya-tanya:
Mengapa kualitas pendidikan merosot?
Mengapa karakter generasi muda semakin rapuh?
Mengapa kecerdasan emosional dan moral terasa menipis?

Jawabannya sederhana: karena pelitanya kita matikan sendiri.

Kita membiarkan para guru berjalan di lorong pendidikan dengan rasa was-was, takut dilaporkan, takut dipidana, takut diviralkan. Padahal tidak ada bangsa maju yang membuat para gurunya takut. Tidak ada peradaban hebat yang memaksa pendidiknya diam. Tidak ada masa depan cerah yang lahir dari regulasi yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Sementara pelita itu padam satu per satu, api kebodohan justru menyala.
Ia menyala dalam bentuk sistem pendidikan yang lebih sibuk mengejar angka daripada karakter.
Orang tua yang menuntut guru sempurna, tetapi lupa mendampingi anak-anak mereka pada momen terpenting hidupnya.
Masyarakat yang cepat menghakimi guru tanpa melihat konteks.
Hukum yang tak memberi ruang bagi pendidik untuk menegakkan disiplin secara manusiawi.

Api kebodohan itu menyala bukan karena kita tidak punya guru,
tetapi karena kita tidak lagi mendengar mereka.

Hari Guru Nasional bukan sekadar seremoni atau ucapan klise. Ini adalah refleksi keras bahwa bangsa yang menghukum gurunya adalah bangsa yang sedang menggali kuburnya sendiri pelan tapi pasti.

Peradaban tidak runtuh oleh kurangnya teknologi.
Peradaban runtuh ketika orang bijak dibungkam, sedangkan suara-suara bising tanpa makna justru diikuti.

Maka, sebelum semuanya terlambat, sebelum pelita terakhir padam dan api kebodohan membakar ruang belajar serta masa depan anak-anak kita. Maka kita harus memilih untuk kembali mendengar guru.
Melindungi mereka.
Memberi ruang bagi mereka untuk mendidik dengan wibawa, bukan ketakutan.
Menghormati mereka, bukan hanya memajang wajah mereka di spanduk dan media sosial.

Hari Guru Nasional adalah cermin.
Dan hari ini, cermin itu memperlihatkan wajah bangsa yang harus berani berubah.

Karena tanpa guru, tidak ada bangsa.
Dan tanpa keberanian untuk melindungi guru, tidak ada masa depan yang layak diperjuangkan.

Selamat Hari Guru Nasional 2025.
Guru Hebat, Indonesia Kuat.

Share This Article