Salam yang Tak Tersampaikan: Pesan yang Lebih Jelas Ketimbang Kata-Kata

Redaksi
Redaksi

Oleh: Muhammad Bambang

Ada momen kecil yang seringkali menggambarkan hal-hal besar. Sebuah salam yang tak bersambut, tangan yang terulur namun dibiarkan menggantung di udara. Inilah yang terjadi pada hari itu, di tengah euforia pengundian nomor urut Pilkada Tana Tidung. Ibrahim Ali, bupati yang masih menjabat dan kini maju untuk periode keduanya bersama Sabri, menyodorkan tangan dengan harapan akan ada satu jabat erat yang menjadi simbol kedewasaan. Lawannya, Said Agil, memilih untuk mengabaikannya.

Apa arti sebuah salam? Mungkin tidak banyak jika sekadar dipandang sebagai gestur, tetapi dalam konteks Pilkada yang melibatkan masa depan sebuah daerah, ia bisa menjadi refleksi dari karakter seorang pemimpin. Politik memang bukan sekadar adu gagasan, tapi juga adu etika. Di saat tangan Ibrahim Ali ingin menunjukkan bahwa perbedaan tidak harus memisahkan, justru muncul penolakan yang dingin.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Said Agil, dengan caranya sendiri, mungkin tidak merasa perlu melibatkan salam itu dalam narasi pertarungan politiknya. Mungkin baginya, politik adalah ruang di mana persaingan lebih penting daripada persahabatan. Namun, sikap ini meninggalkan pertanyaan yang lebih dalam. Bagaimana bisa seseorang yang tak mampu menyambut uluran tangan saingan, nantinya diharapkan bisa menyambut keluh kesah rakyatnya yang berbeda pandangan?

Jabatan tangan bukan sekadar formalitas. Ia adalah representasi dari cara kita memandang lawan bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra dalam demokrasi. Dalam menolak sebuah salam, Said Agil mungkin telah mengajarkan kita satu hal: di Tana Tidung, bukan sekadar visi dan misi yang dipertaruhkan, tapi juga kematangan sikap di hadapan publik.

Ibrahim Ali, dengan sikapnya yang tetap tenang, tampaknya memahami bahwa politik tak melulu soal siapa yang paling keras berbicara atau siapa yang paling pandai menghindar. Terkadang, kekuatan ada pada kesediaan untuk menjabat tangan dan menyelesaikan perbedaan dengan martabat. Politik yang baik adalah politik yang bisa merangkul, bukan yang memisah-misahkan.

Dan di tengah riuh rendah kontestasi ini, salam yang tak tersampaikan justru mengirimkan pesan yang lebih jelas daripada kata-kata.

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *