Terkait Dugaan Diskriminasi SDN 051, Mantan Kepala Sekolah Angkat Bicara

Redaksi
Redaksi

Terkait Dugaan Diskriminasi SDN 051, Mantan Kepala Sekolah Angkat Bicara

TARAKAN – Gencarnya tuduhan Diskriminasi pada Sekolah Dasar SDN 051 terhadap salah satu siswanya yang dikabarkan tidak naik kelas selama 3 tahun berturut-turut, menuai perhatian besar masyarakat Indonesia. Sehingga hal ini turut menyeret Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPI) untuk turun tangan.

Menanggapi persoalan ini, Mantan Kepala SDN 051 Juata Permai angkat bicara. Saat dikonfirmasi, Kamal mantan kepala Sekolah SDN 051 Tarakan meluruskan persoalan terkait tiga siswa sekolah yang tidak naik kelas tiga tahun berturut-turut. Ketiga siswa itu kini duduk di bangku kelas 2, 4 dan 5 SDN 051 Juata Permai.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Kamal mengklarifikasi jika pihak sekolah sama sekali tidak melakukan intoleransi dan diskriminasi keyakinan. Tidak naik kelasnya siswa tersebut disebabkan karena sikap orangtua yang tidak mau mengikuti tata tertib sekolah.

“Kalau bahasa kemarin yang ada di medos, di media dan sebagainya yang disampaikan oleh ibu Retno (Komisioner KPAI) bahwa anak ini tidak naik kelas karena agama, maka saya klarifikasi di forum ini bahwa kenaikan kelas pertama bukan karena agama, tapi karena memang orangtua tidak mau mengikuti tata tertib yang berlaku di sekolah,” tegas Kamal, (25/11/2021).

Ia mengetahui persoalan itu karena terjadi di masa kepemimpinannya. Kamal menjadi kepala sekolah pertama SDN 051 Juata Permai. Sekolah itu baru beberapa tahun berdiri pemekaran dari SDN 043.

Kamal pun mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Pada awal bersekolah, tidak ada masalah. Mereka mengikuti kegiatan belajar dengan normal, termasuk pendidikan agama Kristen.

Perubahan sikap baru terlihat ketika duduk di bangku kelas 4 pada 2017, dimana seorang mahasiswa Kristen dari Universitas Borneo Tarakan melakukan KKR di SDN 051 Juata Permai.

“Ada kegiatan mahasiswa Kristen dari Borneo melakukan KKR dilakukan di sekolah ini. Kami persilakan karena memang ada rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Pelaksanaan KKR itu dilakukan namun ketiga anak ini tidak ikut,” bebernya

Ketidakikutsertaan ketiga anak tersebut mengundang pertanyaan bagi guru pembina Agama Kristen. Sehingga dengan izinnya ketika itu sebagai kepala sekolah, guru pembina Agama Kristen memanggil orangtua mereka.

“Hasil pembicaraan mereka keluar bahasa yang menurut saya, inilah bahasa yang bertentangan sebenarnya dengan keyakinan agama Kristen. Padahal mereka berada di bawah binaan Kristen,” ungkapnya.

Pemicu lainnya, menurut pria yang kini menjabat Kepala Seksi Pembinaan PAUD Dinas Pendidkan Tarakan ini, ketiga anak tersebut tidak mau lagi menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat bendera. Mereka merasa jiwanya terganggu jika menyanyikan lagu nasional.

“Ada bukti kita anak itu mengirimkan lewat WA, bahasanya kalau menyanyikan lagu nasional hati nuraninya terganggu,” tuturnya.

Bukan tanpa upaya, bahkan sekolah sempat memediasi wali kelas dan orangtua siswa dan bersedia anaknya menyanyikan lagu kebangsaan, kecuali hormat bendera. Akan tetapi dalam perjalanannya, menurut Kamal, jangankan hormat, menyanyikan lagu kebangsaan juga tidak mau. Sikap inilah yang mempengahui nilai mata pelajaran agama dan kewarganegaraan ketiga siswa tersebut. Menurutnya, saat itu pihaknya sudah mulakukan pembinaan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010.

“Kita adakan pembinaan, pemahaman tentang nilai-nilai Kepancasilaan dan sebagainya kepada orangtua, tapi tetap bersikeras bahwa itu melanggar dan sebagainya,”pungkasnya.

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *