Wacana Pilkada 2029 Oleh DPRD, Efisiensi Atau Kemunduran Demokrasi?

Redaksi
Redaksi

Belakangan ini, wacana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari sistem langsung menjadi pemilihan melalui DPRD menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Wacana ini dilatarbelakangi oleh alasan seperti tingginya biaya pilkada, lamanya proses sosialisasi, dan maraknya praktik politik uang. Namun, apakah gagasan ini benar-benar menjadi solusi atas masalah tersebut atau justru langkah mundur dalam demokrasi?

Biaya Pilkada yang Tinggi

Pilkada langsung membutuhkan anggaran besar, mencakup pemutakhiran data pemilih, kampanye, hingga distribusi logistik. Sebagai bentuk perwujudan hak politik masyarakat, sistem ini dijamin dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Salah satu komponen besar biaya adalah pengadaan logistik, seperti surat suara dan dokumen lainnya. Sentralisasi pencetakan logistik melalui KPU RI atau KPU Provinsi dapat menjadi solusi efisiensi anggaran. Kabupaten/kota cukup menangani distribusi dan pembayaran logistik, sehingga biaya dan waktu dapat ditekan. Meski demikian, pelaksanaan solusi ini memerlukan revisi regulasi terkait tahapan pilkada.

Pemutakhiran Data Pemilih: Pemerintah vs. KPU

Pemutakhiran data pemilih merupakan tanggung jawab Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Pemerintah, melalui Kemendagri, bertugas menyediakan data kependudukan yang dikonsolidasikan untuk digunakan KPU.

Digitalisasi melalui Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dapat mempercepat proses ini sekaligus menekan biaya. Dengan begitu, argumen mahalnya biaya pilkada akibat pemutakhiran data dapat diatasi tanpa harus mengubah mekanisme pilkada.

Sosialisasi Pilkada oleh Pemerintah Daerah

Sosialisasi pilkada adalah elemen penting untuk memastikan masyarakat memahami hak dan kewajibannya dalam pemilu. Pemerintah daerah, melalui perangkat kelurahan dan RT, dapat dilibatkan untuk mempercepat proses sosialisasi dengan biaya yang lebih hemat.

Namun, keterlibatan pemerintah daerah harus diawasi ketat agar tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, mengingat posisi mereka sering kali berafiliasi dengan calon tertentu.

Politik Uang: Akar Masalah Demokrasi

Praktik politik uang menjadi alasan utama di balik wacana pilkada melalui DPRD. Padahal, Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan tegas melarang pemberian uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. Pelanggaran ini diancam hukuman enam tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.

Mengatasi politik uang membutuhkan penguatan lembaga pengawas seperti Bawaslu, bukan dengan mengubah mekanisme pilkada menjadi tidak langsung. Langkah ini hanya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.

Pilkada oleh DPRD: Kemunduran Demokrasi

Mengubah mekanisme pilkada menjadi pemilihan oleh DPRD akan mengurangi partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Sistem ini juga berpotensi memperkuat oligarki politik, karena kepala daerah cenderung lebih berorientasi pada kepentingan partai politik atau DPRD, bukan kepada masyarakat luas.

Kesimpulan

Wacana pilkada oleh DPRD mungkin terlihat sebagai solusi efisiensi anggaran dan pengurangan politik uang. Namun, langkah ini mengabaikan esensi demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Perbaikan mekanisme pilkada dapat dilakukan melalui:

1. Efisiensi anggaran, seperti sentralisasi logistik;

2. Digitalisasi pemutakhiran data untuk menghemat biaya;

3. Penguatan pengawasan terhadap politik uang;

4. Kerja sama pemerintah daerah dengan KPU untuk sosialisasi.

 

Perubahan regulasi untuk memperbaiki teknis pilkada lebih baik daripada menghilangkan hak rakyat memilih langsung. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi masyarakat. Menghapus hak memilih kepala daerah adalah kemunduran demokrasi sekaligus pengingkaran terhadap konstitusi.

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *