MARAKNYA KORBAN RENTENIR DIGITAL Oleh: Muhammad, S.Kom., M.Kom. Dosen STMIK PPKIA Tarakanita Rahmawati, Tarakan Mahasiswa S3 Informatika Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Redaksi
Redaksi

BorneoNewsJournalist.co.id – Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sektor keuangan. Salah satu fenomena yang muncul adalah kemunculan rentenir digital, yaitu praktik peminjaman uang berbasis aplikasi dan platform digital yang menawarkan kemudahan akses, namun sering disertai risiko dan dampak negatif yang serius. Rentenir digital menjadi tantangan baru dalam dunia fintech lending di Indonesia, terutama terkait dengan etika, perlindungan konsumen, dan regulasi. Menurut KBBI, Rentenir adalah orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang; tukang riba; pelepas uang; lintah darat. Berbeda dengan rentenir konvensional yang biasanya beroperasi secara tatap muka dan lokal, rentenir digital beroperasi melalui platform digital dengan akses cepat dan luas ke berbagai lapisan masyarakat.

Fenomena rentenir digital ini sangat relevan untuk dikaji mengingat penetrasi internet dan penggunaan smartphone di Indonesia yang terus meningkat pesat. Tercatat tahun 2024 194,26 juta jiwa pengguna smartphone. Menurut hasil survei APJII Tahun 2024, dari 278,6 juta penduduk Indonesia, tercatat 221,5 juta penduduk terkoneksi internet. Di mana 50,89% adalah Laki-laki dan 49,11% adalah perempuan. 89,44% pengguna internet menggunakan perangkat handphone/tablet. 54,68% menggunakan internet 1-5 jam sehari, bahkan ada 11,42% yang 10 jam lebih sehari menggunakan internet. Tercatat juga dalam survei, bahwa ada 5,42% (8,86 juta jiwa) pengguna layanan Pinjol. Dari jumlah tersebut, ditemukan bahwa 35,13% alasan menggunakan Pinjol karena layanan pinjaman online menawarkan banyak promo atau cashback, 36,41% mengatakan untuk membantu kebutuhan hidup sehari-hari, 25,64% untuk modal usaha, 9,74% untuk memenuhi gaya hidup, 1,79% karena terjerat hutang.

Beberapa karakteristik rentenir digital adalah: (1) Rentenir digital menggunakan aplikasi mobile atau website sebagai media utama untuk menawarkan pinjaman, memudahkan proses pendaftaran, pencairan dana, hingga penagihan; (2) Proses pengajuan pinjaman sangat sederhana, tanpa memerlukan jaminan fisik, dan pencairan dana bisa dilakukan dalam hitungan menit hingga jam, sehingga sangat menarik bagi masyarakat yang membutuhkan dana cepat; (3) Bunga pinjaman yang dikenakan bisa sangat tinggi, bahkan mencapai 1% per hari atau sekitar 30% per bulan, dengan denda yang tidak transparan dan sering kali memberatkan peminjam; (4) Rentenir digital sering kali meminta akses ke data pribadi peminjam, termasuk kontak di ponsel, yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menagih utang dengan cara yang tidak etis, seperti mengancam atau menyebarkan data pribadi; (5) Limitasi pinjaman yang terbatas, misalnya antara Rp.500.000 hingga Rp.2.500.000, ada juga yang sampai Rp.10.000.000., yang disesuaikan dengan profil risiko peminjam dan kebijakan platform.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi digital dapat menjadi pedang bermata dua, di satu sisi memberikan kemudahan, sekaligus memberikan potensi yang sangat berbahaya bagi masyarakat yang kurang waspada. Beberapa risiko yang terkait dengan Rentenir Digital adalah : (1) Risiko Penyalahgunaan Identitas; (2) Risiko finansial dengan tingginya bunga pinjaman, bahkan bunga yang dihitung per jam, membuat beban utang semakin membengkak dalam waktu singkat; (3) Risiko operasional dan teknologi, karena ketergantungan pada sistem teknologi dan penyedia layanan pihak ketiga dapat menyebabkan kegagalan sistem yang berdampak pada proses pinjaman dan penagihan. Masalah lain yang muncul adalah risiko keamanan siber, seperti kebocoran data dan serangan phishing yang dapat merugikan baik peminjam maupun pemberi pinjaman. Keamanan data menjadi isu krusial dalam menjaga kepercayaan dan integritas ekosistem digital lending; (4) Risiko hukum dan regulasi, di mana regulasi yang mengatur fintech lending di Indonesia, khususnya terkait etika penagihan, masih belum memadai. Selain itu, banyak fintech ilegal yang tidak terdaftar di OJK dan beroperasi tanpa pengawasan, sehingga menimbulkan risiko hukum dan perlindungan konsumen yang minim.

Praktik penagihan yang dilakukan oleh rentenir digital sering kali melanggar etika kemanusiaan. Cara-cara yang digunakan termasuk intimidasi, ancaman, dan penyebaran data pribadi peminjam secara tidak etis. Tindakan ini tidak hanya merugikan secara materi tetapi juga mengancam keberlangsungan derajat kemanusiaan dan martabat individu. Ketidakhadiran regulasi yang mengatur etika penagihan secara spesifik membuat praktik-praktik ini sulit dikontrol dan diatasi. Akibatnya, banyak peminjam yang mengalami tekanan psikologis dan sosial yang berat, bahkan sampai pada kasus bunuh diri akibat terjerat utang pinjaman online. Media selalu menyajikan informasi korban rentenir digital, bukti bahwa korban itu benar adanya. Dalam konteks ini, menanamkan etika dan adab dalam penggunaan media digital menjadi sangat penting. Edukasi dan kesadaran etika harus ditingkatkan, baik bagi penyedia layanan fintech maupun masyarakat pengguna. Etika digital mencakup penghormatan terhadap privasi, kejujuran dalam bertransaksi, dan sikap saling menghormati dalam interaksi digital. Penerapan prinsip-prinsip etika ini tidak hanya akan melindungi konsumen dari praktik-praktik merugikan, tetapi juga membantu menciptakan ekosistem fintech yang sehat dan berkelanjutan. Edukasi tentang hak dan kewajiban konsumen serta kewaspadaan terhadap risiko pinjaman digital harus menjadi bagian dari literasi digital yang lebih luas. Penulis sering menyampaikan dalam beberapa agenda resmi, pentingnya seluruh unsur untuk meningkatkan kesolehan digital. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah komitmen seluruh komponen bangsa untuk melakukan penguatan regulasi dan pengawasan, juga pengembangan teknologi yang aman dan adil, sistem keamanan yang kuat dan algoritma yang adil untuk menghindari bias dan diskriminasi dalam penilaian kredit.

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *