Samarinda – Di balik riuhnya hiruk-pikuk peradaban modern, bumi masih menyimpan kisah bisu yang menanti untuk didengar. Salah satunya terpatri di Goa Binuang, sebuah permata tersembunyi di jantung Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Bukan sekadar tempat sunyi yang dingin dan gelap, goa ini adalah mahakarya alam yang mengajarkan makna kehidupan, keagungan, dan kesadaran ekologis.
Pada Jumat (02/05), Mahasiswa Pecinta Alam (Mapa) Politeknik Pertanian Negeri Samarinda (Politani) membawa angin segar dalam upaya pelestarian lingkungan. Puluhan anggota muda diajak menelusuri relung Goa Binuang—bukan untuk menaklukkannya, tetapi untuk memahaminya. Ini bukan ekspedisi biasa. Ini adalah perjalanan spiritual menyatu dengan bumi, di mana setiap tetes air yang menetes dari stalaktit dan setiap hembusan udara lembap menyimpan pesan kehidupan yang nyaris terlupakan.
Membaca Alam Lewat Dinding Goa
Ketua Mapa Politani, Yolan Emilia Damanik, dengan mata yang berbinar penuh semangat, mengatakan bahwa kegiatan ini lebih dari sekadar eksplorasi. “Goa bukan hanya lorong gelap. Di dalamnya ada sejarah, ada kehidupan, ada pesan dari alam yang selama ini kita abaikan,” ucapnya.
Dengan penuh kehati-hatian dan rasa takzim, para anggota muda menyusuri tiap lorong sempit dan ruangan luas di Goa Binuang. Mereka mengamati ornamen alam yang terbentuk selama ribuan tahun: stalaktit yang menjuntai anggun dari langit-langit, stalagmit yang kokoh berdiri seolah menjadi tiang penyangga bumi. Mereka mencatat keberadaan flora dan fauna unik yang hidup dalam kegelapan, membuktikan bahwa kehidupan selalu menemukan cara, bahkan dalam keterbatasan.
Pelajaran dari Setiap Tantangan
Goa Binuang tidak mudah dijelajahi. Lorong sempit memaksa tubuh untuk merayap, jalur vertikal menguji keberanian, dan ruangan luas membuat kita merasa kecil—sangat kecil—di hadapan kebesaran alam. Dengan tali carmantel dan semangat solidaritas, para anggota muda mengatasi rintangan demi rintangan, belajar bahwa mencintai alam adalah soal keberanian, kepekaan, dan kerja sama.
“Ini bukan tentang adu kuat dengan alam. Ini tentang belajar untuk mendengar, untuk menghormati, dan untuk menjaga,” jelas Yolan.
Mewariskan Kesadaran, Bukan Kerusakan
Lebih dari sekadar pengalaman, eksplorasi ini adalah upaya membentuk karakter. Mapa Politani berharap, para anggota muda pulang dengan lebih dari sekadar cerita petualangan—mereka membawa pulang kesadaran. Kesadaran bahwa keindahan goa bukan untuk dikomersialisasi atau dirusak, tetapi untuk dilindungi sebagai bagian dari warisan bumi.
“Keindahan di dalam goa adalah hadiah dari alam. Begitu rusak, kita kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dikembalikan,” tegas Yolan, menekankan bahwa pelestarian bukan pilihan, melainkan keharusan.
Ajakan untuk Semua: Jangan Diam Saat Alam Menangis
Goa Binuang hanyalah satu dari sekian banyak keajaiban alam yang tersebar di Kalimantan. Namun, keajaiban ini tidak akan bertahan tanpa tangan-tangan yang peduli. Diperlukan aksi nyata dari semua pihak—bukan hanya komunitas pecinta alam, tapi seluruh elemen masyarakat.
“Mari jaga setiap goa, setiap hutan, setiap sungai. Karena alam yang lestari adalah warisan terbaik yang bisa kita berikan untuk anak cucu kita kelak,” tutup Yolan, dengan suara yang membawa harap sekaligus peringatan.
Dalam senyap Goa Binuang, suara alam bergema—meminta untuk didengar, untuk dipahami, dan yang terpenting, untuk dijaga. Dan hari itu, Mapa Politani menjawabnya dengan cinta.***